Selasa, 2 Desember 2025, Ditjen Badilum menyelenggarakan Perisai Badilum Episode ke-12 secara Zoom Meeting, dihadiri oleh Ketua Pengadilan Tinggi Surabaya Sujatmiko, S.H., M.H, Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Surabaya Puji Harian, S.H., M.Hum.,beserta Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Surabaya. Kegiatan ini mengangkat tema strategis, “Tinjauan Pembaharuan KUHAP: Das Sollen Peran Pengadilan dalam Sistem Peradilan Pidana”, menghadirkan narasumber Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung RI, YM Dr. Prim Haryadi, Wakil Menteri Hukum dan HAM RI, Prof. Edward Omar Sharif Hiariej, serta Plt. Kepala Bawas MA RI, Suradi, S.H., S.Sos., M.H. Hadir pula Hakim Yustisial Mahkamah Agung RI, Dodik Setyo Wijayanto, sebagai pemandu acara. Dalam sambutan pembuka, Dirjen Badilum Bambang Myanto menegaskan bahwa KUHAP baru akan mulai berlaku bersamaan dengan KUHP pada 2 Januari 2026. Menghadapi momen penting tersebut, ia menekankan urgensi pembumian pemahaman KUHAP baru bagi para hakim dan seluruh aparatur peradilan di Indonesia.
Prof. Edward Omar Sharif Hiariej, membuka paparannya dengan menegaskan bahwa KUHAP baru tidaklah sempurna, sebab setiap regulasi pasti menyimpan ruang perbaikan. Namun demikian, ia memastikan bahwa KUHAP baru jauh lebih maju dibanding KUHAP sebelumnya karena dirumuskan dengan pendekatan dan metode penyusunan yang lebih matang. Lebih lanjut, Prof. Edward menekankan dua aspek fundamental dalam due process model yang diadopsi KUHAP baru. Pertama, KUHAP memberikan perlindungan yang lebih kuat terhadap hak asasi manusia. Kedua, seluruh aparat penegak hukum wajib memastikan bahwa perlindungan HAM tersebut dipatuhi dalam setiap tahapan proses peradilan pidana. KUHAP baru, lanjutnya, juga memperkenalkan konsep koordinasi horizontal, yakni kewenangan bagi aparat penegak hukum untuk berkoordinasi dalam penanganan perkara pidana. Meski demikian, ia menegaskan bahwa peran sentral tetap berada pada majelis hakim, karena hakimlah yang menentukan putusan akhir dari suatu perkara. Dalam konteks penafsiran hukum, KUHAP baru membawa asas lex stricta, yang mengharuskan makna setiap ketentuan diinterpretasikan secara ketat, rigid, dan tidak boleh menimbulkan kerugian bagi terdakwa, korban, maupun pihak terkait dalam perkara pidana.
Salah satu terobosan penting lainnya adalah hadirnya Plea Bargaining Agreement (PBA), yakni kesepakatan antara Penuntut Umum dan Terdakwa, di mana terdakwa mengakui perbuatannya dengan syarat: baru pertama kali melakukan tindak pidana, tindak pidana berancaman pidana paling lama lima tahun atau denda kategori V, dan/atau bersedia membayar ganti rugi atau restitusi. PBA tetap memerlukan persetujuan Hakim Tunggal, dan apabila tidak disetujui, perkara otomatis berlanjut melalui pemeriksaan dengan acara biasa. Menutup paparannya, Prof. Edward menegaskan bahwa seluruh ketentuan dalam KUHAP baru merupakan hasil musyawarah panjang dan kesepakatan seluruh pemangku kepentingan. Tidak ada satu pun pasal yang lahir tanpa persetujuan kolektif.
2025
02
Dec







