Kegiatan rutin Sarasehan Interaktif Perisai Badilum kembali diselenggarakan secara daring pada Senin (6/10), dengan mengangkat tema “Mengurai Kompleksitas Eksekusi Perdata: Problematika, Solusi, dan Prospek Pembaruan Hukum.” Acara ini menghadirkan Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial, Suharto, sebagai narasumber utama. Berbeda dari edisi sebelumnya, pertemuan ke-10 ini tidak hanya diikuti oleh hakim dan aparatur teknis dari lingkungan Badan Peradilan Umum (Badilum), tetapi juga melibatkan perwakilan dari Badan Peradilan Agama (Badilag). Tercatat sebanyak 416 satuan kerja dari Badilum dan 446 dari Badilag turut berpartisipasi aktif. Direktur Jenderal Badilum, Bambang Myanto, dalam sambutannya menyampaikan bahwa forum PERISAI dirancang sebagai wadah untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi aparatur peradilan. Ia menambahkan, tema yang diangkat dalam setiap edisi mencerminkan isu-isu aktual yang dihadapi satuan kerja, dan hasil diskusi akan dihimpun menjadi buku referensi dalam pelaksanaan tugas. Selain itu, Bambang juga memperkenalkan aplikasi Satu Jari, sebuah inovasi dari Ditjen Badilum untuk mendampingi proses eksekusi secara langsung maupun daring. Ia memaparkan bahwa pada tahun 2023 telah dilakukan 14.463 eksekusi, dan jumlah tersebut menurun menjadi 11.697 hingga Oktober 2024. Ia menjelaskan terdapat tujuh kendala utama yang sering menyebabkan kegagalan eksekusi, antara lain faktor keamanan, objek eksekusi yang tidak jelas, belum dibayarkannya biaya eksekusi, proses hukum lanjutan, tidak adanya tindak lanjut dari pemohon, serta perlawanan dari pihak termohon maupun pihak ketiga.Sebagai moderator, Hakim Yustisial Mustamin menekankan pentingnya peran eksekusi sebagai perwujudan keadilan. Ia menyatakan bahwa “Eksekusi adalah ujung tombak keadilan. Tanpa itu, putusan pengadilan hanyalah dokumen yang tak bernilai secara praktis.”
Sementara itu, Suharto dalam paparannya memberikan gambaran menyeluruh mengenai tantangan eksekusi perdata di lapangan. Ia membagi hambatan menjadi dua jenis: internal, yang berasal dari isi putusan seperti amar yang tidak memuat perintah eksplisit atau objek yang tidak jelas; dan eksternal, yang meliputi gangguan di luar proses yudisial seperti intervensi keamanan, perlawanan pihak ketiga, hingga pengajuan Peninjauan Kembali (PK). Suharto menekankan bahwa kompleksitas dalam pelaksanaan eksekusi mencerminkan perlunya perbaikan sistem hukum secara menyeluruh. Ia menganalogikan peran hakim dengan dokter yang tidak hanya mengandalkan teori, tetapi juga harus paham praktik. Sarasehan edisi ke-10 ini ditutup dengan sesi diskusi interaktif yang penuh antusiasme. Para peserta dari seluruh Indonesia saling berbagi pengalaman dan memberikan masukan konstruktif terkait pelaksanaan eksekusi di wilayah masing-masing, yang diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan pembaruan hukum ke depan.







