Anggota Komisi III DPR RI, Lukman Hakim Saifuddin mengaku sebagian anggota DPR memiliki ketakutan akan keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pasalnya, opini yang berkembang yakni Pengadilan Tipikor adalah perpanjangan tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Ada pemahaman di DPR bahwa kewenangan KPK sudah tidak bisa dikontrol lagi. Bahkan ada isu para hakim ad hoc di pengadilan tipikor terlibat dalam gelar perkara di KPK. Sehingga mereka menyimpulkan pengadilan tipikor adalah perpanjangan tangan KPK,” ujar Lukman yang ditemui di Jakarta, Minggu (21/9).
Ia menyatakan, fragmentasi itu nyata ada dalam tubuh anggota pansus Pengadilan Tipikor. Terlebih, berkembang pula pemahaman bahwa seseorang yang beperkara di Pengadilan Tipikor memiliki peluang bebas yang sangat kecil.
“Padahal ini kan pengadilan. Selama ini belum ada orang yang bebas ketika sudah diadili di pengadilan tipikor, pasti masuk bui. Hal ini dinilai tidak terlepas dari komposisi hakim ad hoc yang mayoritas. Memang butuh data dan pembuktian disenting opinion di antara hakim karier dan hakim ad hoc, namun itulah pemahaman yang berkembang di anggota dewan,” papar Lukman.
Sedangkan anggota Komisi III dari Fraksi PDI Perjuangan, Gayus Lumbuun menyatakan agar Pengadilan Tipikor tidak menjadi perpanjangan tangan KPK, pengadilan itu seharusnya tetap berada di bawah pengadilan umum. Bukan berdiri sendiri.
“Justru ketakutan anggota DPR adalah bila pengadilan tipikor dibuat berdiri sendiri di luar empat lingkungan pengadilan yang ada. Dalam konstitusi disebutkan empat lingkungan peradilan, yakni pengadilan umum, pengadilan agama, pengadilan tata usaha, dan pengadilan militer,” ujar Gayus.
Pengadilan Tipikor, sambung dia, harus berinduk pada salah satu dari empat lingkungan peradilan tersebut. “Dan yang paling memungkinkan adalah di bawah pengadilan umum,” imbuhnya.
Jika ditarik kebelakang, kewajiban penyusunan Undang-Undang Pengadilan Tipikor muncul dari Putusan MK No.012-016-019/PUU-IV/2006, tertanggal 19 Desember 2006. Uji materiil tersebut diajukan oleh Mulyana W Kusuma, Nazaruddin Sjamsuddin, dan Tarcisius Walla yang tersangkut kasus korupsi di tubuh KPU.
MK mengabulkan permohonan perubahan Pasal 53 UU KPK tentang keberadaan Pengadilan Tipikor. Atas putusan tersebut, MK mengamanatkan pemerintah dan DPR untuk membuat UU Pengadilan Tipikor dan harus diselesaikan selambat-lambatnya pada Desember 2009.
Terpisah, anggota Komisi III Aziz Syamsuddin menyangkal adanya ketakutan dalam tubuh DPR terkait pembentukan Pengadilan Tipikor. Ia mengakui fragmentasi di kalangan anggota pansus memang ada, namun fragmentasi itu masih bersifat proporsional.
“Pansus sudah berkomitmen untuk menyelesaikan RUU Pengadilan Tipikor. Terkait pasal-pasal krusial, kami juga berjanji akan menyerap aspirasi yang berkembang di masyarakat. Kami pastikan resistensi di kalangan anggota DPR tidak akan mempengaruhi pembahasan RUU ini,” tandas dia.
dikutip dari mediaindonesia.com